Sebenarnya seperti apakah PLTN?? Apakah PLTN memang semengerikan itu? Pada prinsipnya, system kerja pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hampir sama dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Panas yang dihasilkan dari reaksi nuklir digunakan untuk menguapkan air pendingin pada reaktor. Tekanan tinggi dari uap air akan menggerakkan turbin. Turbin selanjutnnya menggerakkan generator. Dari generator inilah akan dihasilkan listrik .Terlihat pula bahwa bahan bakar yang digunakan adalah uranium dan plutonium sedangkan pembangkit listrik konvensional menggunakan minyak bumi, gas dan batubara sebagai bahan bakar.
Polemik yang mendera bangsa Indonesia di bidang energi terasa semakin pelik. Berbagai kebijakan energi yang diterapkan pemerintah tidak mampu meyakinkan rakyat. Sementara itu, tuntutan pemenuhan kebutuhan energi semakin mendesak. Setelah melalui berbagai kajian mendalam, pemerintah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit ini direncanakan akan dibangun di daerah pegunungan Muria. Sebuah daerah berbukit di sebelah utara kota Jepara. Pegunungan Muria dianggap paling memenuhi syarat sebagai tempat berdiri dan beroperasinya PLTN. Selain karena aman dari gempa, daerah Muria juga sangat dekat dengan sumber air (Laut Jawa) yang dibutuhkan untuk mendinginkan reaktor nuklir setelah “lelah” bekerja. Dengan dibangunnya PLTN, pemerintah berharap dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang selama ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, sudahkah kita mampu membangun PLTN dan menanggung segala resiko yang mungkin terjadi?? Sudah bukan rahasia umum jika PLTN sampai saat ini masih dipertanyakan sistem keamanannya. Tragedi Chernobyl, dan Three Mile Island, di Amerika Serikat dan PLTN fukushima cukup dijadikan bukti bagi masyarakat untuk menolak PLTN. Bahkan, bom atom yang meluluhlantakkan kekuatan Jepang di Perang Dunia kedua pun belum lekang dari memori. Tak ayal, penolakanpun terjadi dimana-mana. Terlebih lagi bagi warga Kudus dan Jepara yang merasa telah dijadikan “kelinci percobaan” bagi proyek pemerintah ini. Mereka dengan lantang menyuarakan suara hati melalui demo yang digelar di berbagai tempat dan (entah mengapa) mengatasnamakan diri pembela lingkungan.
Sumber energi alternatif
Beberapa ahli mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya masih memiliki alasan untuk tidak terburu-buru dalam membangun PLTN. Salah satunya adalah dengan mengupayakan pengembangan teknologi energi terbarukan. Apalagi, Indonesia memiliki sumber daya terbarukan yang lebih dari cukup untuk dikembangkan. Fakta di lapanganpun menegaskan demikian. Garis pantai terpanjang kedua di dunia memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki potensi di bidang energi angin. Kenyataan bahwa negara kita dilalui garis katulistiwa membuat prospek energi matahari sangat cerah untuk dikembangkan. Belum lagi sumber daya bahari disertai sumber air mengalir yang melimpah memperlihatkan bahwa energi biodiesel dan mikrohidro bukanlah sebuah mimpi. Jika masih kurang, deretan gunung api mengindikasikan Indonesia memiliki sumber panas bumi yang besar bahkan merupakan yang terbesar di dunia. Hanya saja, bukan perkara mudah mengubah sumber daya sebesar itu menjadi energi yang bisa dimanfaatkan. Panas Bumi misalnya. Regulasi dan nilai investasi yang terlalu tinggi membuat investor tak tertarik untuk bermain lebih jauh di bidang enrgi alternatif ini. Bahkan untuk pengembangan solar cell atau energi mataahari, kita harus siap-siap untuk tak pernah mendapatkan modal kita kembali. Untuk membangun suatu windfarm (ladang kincir angin), ternyata bukan hanya dibutuhkan kecepatan angin yang memadai. Ketersediaan bahan baku dan kelengkapan infrastruktur juga diperlukan. Sampai saat ini, baru Mikrohidro dan Panas Bumi yang secara nyata dikembangkan bukan sekedar bentuk penelitian. Perusahaan energi Chevron dan PT Geodipa Energi mengambil langkah berani dengan terjun pada penambangan panas bumi kita lihat sampai berapa lama mereka bertahan, karena sama sekali tidak menguntungkan secara finansial , Sementara itu Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sudah dikembangkan di beberapa daerah. Salah satunya adalah di Papua Barat dimana PLTMH dijadikan andalan dalam memasok listrik.
kenapa mesti nuklir
Sulitnya mengembangkan energi terbarukan masih ditambah dengan sulitnya energi terbarukan memenuhi kebutuhan listrik dalam jumlah langsung secara instan. Hal ini memaksa kita kembali berpaling pada PLTN. Berbeda dengan sumber energi lain, dengan sedikit bahan bakar, energi yang dihasilkan PLTN sangat besar. 1 kg bahan bakar nuklir dapat menghasilkan energi yang setara dengan 12.000 barel minyak bumi apaladi batubara?? bisa berton-ton bisa digunakan??. Selain itu, harga bahan bakar nuklir (uranium dan plutonium) juga sangat murah. Dari segi tenaga ahli, pendirian program studi Teknik Nuklir di Fakultas Teknik Unversitas Gadjah Mada pada tahun 1978 menjadi sebuah jaminan. Hanya saja, banyak masyarakat bertanya, bisakah semua itu menjadi garansi keamanan PLTN?? Pengalaman kita sampai saat ini baru sebatas riset. Apakah dengan berbekal pengalaman itu cukup untuk menghandle sebuah PLTN yang menyimpan bahaya begitu besar?? Terjadinya kebocoran radioaktif pada instalasi PLTN di Kashiwazaki di Jepang setelah terkena gempa semakin menambah kekhawatiran masyarakat. Lantas bagaimanakah pemerintah mencoba meyakinkan masyarakat bahwa Muria aman dari gempa sementara ingatan kita masih segar dengan gempa Jogja?? PLTN memang bisa memberi kita keuntungan besar. Namun dibalik semua itu kemampuan kita meminimalkan bahaya yang munkin terjadi masih banyak diragukan. Lalu, sudahkah kita mampu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar